Seperti biasa secangkir kopi dan sebatang rokok selalu menamaniku dalam kesendirian. Ku lewati malam ini dengan pertanyaan yang selalu aku tak mampu untuk menjawabnya. ”adakah cinta untukku untuk esok hari?"
Aku tak tau harus mengawali jawaban pertanyaaku itu dari mana! Sampai saat ini pertanyaan itu seperti sindrom yang membuatku sesak setiap pertanya itu muncul di kepalaku.
Puluhan batang rokok yang menggunung menghiasi asbak di pojok meja kerjaku yang kuhisap malam ini. Demikian juga dengan berpuluh-puluh lubang yang mulai setia dengan paru-paruku. Entahlah bagiku rokok adalah sahabat bagi kesendirianku.
Aku mencoba melawan sisa-sisa dingin hujan sore tadi. Masih saja aku berpeluk lutut disini, disudut pembaringan di depan jendela kamarku yang kusennya sudah mulai melapuk. Perlahan aku bringsut dan membaringkan tubuhku, menarik selimut hingga ke dagu. Semoga Tuhan masih berbaik hati malam ini, dan mempertemukan kita, meski hanya sebatas mimpi.
Kehidupanku seperti angin yang tak dapat kulihat bentuk dan rupanya, karena sampai sekarang ini aku belum melihat titik kemana kaki hidupku akan melangkah, setidaknya aku masih bisa berharap dan bercita-cita agar hidupku bermakna, paling tidak untuk diriku sendiri terlebih orang-orang yang berada si sekitarku.
Aku tak tau harus mengawali jawaban pertanyaaku itu dari mana! Sampai saat ini pertanyaan itu seperti sindrom yang membuatku sesak setiap pertanya itu muncul di kepalaku.
Puluhan batang rokok yang menggunung menghiasi asbak di pojok meja kerjaku yang kuhisap malam ini. Demikian juga dengan berpuluh-puluh lubang yang mulai setia dengan paru-paruku. Entahlah bagiku rokok adalah sahabat bagi kesendirianku.
Aku mencoba melawan sisa-sisa dingin hujan sore tadi. Masih saja aku berpeluk lutut disini, disudut pembaringan di depan jendela kamarku yang kusennya sudah mulai melapuk. Perlahan aku bringsut dan membaringkan tubuhku, menarik selimut hingga ke dagu. Semoga Tuhan masih berbaik hati malam ini, dan mempertemukan kita, meski hanya sebatas mimpi.
Kehidupanku seperti angin yang tak dapat kulihat bentuk dan rupanya, karena sampai sekarang ini aku belum melihat titik kemana kaki hidupku akan melangkah, setidaknya aku masih bisa berharap dan bercita-cita agar hidupku bermakna, paling tidak untuk diriku sendiri terlebih orang-orang yang berada si sekitarku.
Aku tak tahu lagi dengan
kalimat yang bagaimana kulukiskan perasaanku saat ini, kebimbangan,
kebingungan, entah perasaan apa lagi yang menari-nari di kepalaku yang cabul ini.
Inikah
hidup?’ entahlah, kebingungan ini telah menjelma seperti sebuah jam dinding? Yang aku tak tahu kapan
itu akan melambat dan mati. Apakah aku akan ikut seperti itu?
Hidupku
menyerupai sebuah gambaran kaum kelas jelata di masa penjajahan belanda, atau di masa kerajaan-kerajaan. Hidup yang selalu monoton, atau pada
syair-syair yang berisi tentang kesedihan proletarier (kaum bawah) yang dimarginalkan dipinggirkan)
oleh nasib, yang tercipta oleh kebodohannya sendiri.
Tubuhku
adalah terjemahan dari sebuah hikayat kemanusiaan yang memiliki sebuah
kisah tentang perjalanan cinta, sayap-sayap ingatanku masih menyisakan
sosok perempuan masa kini yang menjunjung tinggi kesetiaan.
Secangkir kopi dan sebatang rokok selalu menamiku dalam kesendirian.
Sosok wanita yang mungkin takkan pernah akan terhapuskan dari ingatanku, sesosok wanita yang penuh pesona, bagaikan sekuntum melati yang tersiram ratusan
tetes embun pada waktu pagi.
Beberap
hari ini aku masih mencoba dan terus mencoba untuk menghapus sosok itu,
sembari menyusun konsentrasiku untuk menggharap sesuatu yang sudah
bertahun-tahun terabaikan, yang merupakan syarat yang pernah
diberikannya padaku. Yah, walaupun dia telah pergi namun aku akan terus
menyelesaikan ini. Semua yang pernah menjadi janji akan tetap
ku perjuangkan, serumit apapun itu.
Sudah
gilakah aku?
Entah,... kucoba merebahkan tubuh yang mulai penatku diatas tempat
tidurku. Mencoba bernegosiasi dengan pikiran untuk melupakan
peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa hari ini.
Ku matikan lampu
kamarku namun kegelapan justru mekinmem perjelas dan mempertegas
kesunyian itu. Aku
tetap gelisah, ku miringkan badanku ke arah yang sudah berkali kali
pernah ku lakukan, namun sekuat aku berusaha, sekuat itu pula bayangan
itu menggangguku, seolah memaksaku untuk melakukan sesuatu yang aku
sendiri tidak tahu. Ia seakan melambai mencoba meraihku dan kuulurkan tanganku coba untuk merengkuh tangannya.
Ku sambangi bayangan itu dan kuraih tangannya, namun ia terlalu jauh untuk ku raih, sementara aku sudah terlalu payah,
oleh keletihan yang amat sangat, terlalu banyak peristiwa-peristiwa yang
membuatku seperti orang gila.
Selewat
seperempat abad ini banyak hal yang telah tertanam di dalam hati lalu
menjelma manjadi sebuah gunungan hasrat yang tiada melebihi oleh apapun
di dunia ini, hasrat itu menginginkan pribadiku tereinkarnasi dalam
sebuah pribadi yang sederhana.
Sementara
kakiku semakin letih melangkah, bahuku terlalu berat menanggung beban
yang lama menggayut, terkadang membatasi ruang gerakku, namun
pikirankulah yang semakin lama semakin jauh melayang mengitari
langit-langit kepalaku, pikiran tentang sekuntum bunga yang
kutemukan pada suatu sore yang tak bernama.
Bunga itulah yang tumbuh dan
berakar didalam hatiku. Bunga yang aromanya hanya mampu terwakili oleh
kembang setaman, dimana bidadari turun dan bermain main didalamnya.
Hatiku luluh lantak hanya oleh sekuntum bunga, bunga yang sama sekali
tiada berduri, Akankah ku ciptakan duri-duri itulagi, atau ku biarkan bunga itu tak berduri?
Secangkir kopi dan sebatang rokok selalu menamiku dalam kesendirian.
kopi...kopi...
BalasHapusLanjut gan...
BalasHapus